Campus Under Cover: Bunuh Diri, Krisis Tersembunyi dibalik Kehidupan Kampus
Masih
jelas dalam ingatan kasus bunuh diri (2023) yang dilakukan mahasiswi Fakultas
Kedokteran Hewan UNAIR yang memilih mengakhiri hidup di dalam mobil menggunakan
gas Helium. Sebelum meninggal, Korban menulis surat yang ditujukkan untuk
keluarga dan kerabat dekat, penggalan terjemahannya;
“…Aku
telah buta selama ini dan telah memberi kalian semua harapan palsu. Dunia ini
kejam. Ingat itu. Aku mencintai kalian. Tapi aku tak bisa melakukannya lagi
sejak aku berhenti berharap. Sudah terlambat sekarang…”.
“…Tetapi
bocah bodoh dan rapuh yang kamu cintai ini tak bisa berkawan dengan kenyataan.
Aku memilih kabur. Maaf aku pengecut. Aku tak cerdas aku tak bijaksana. Kamu
melihatku salah. Aku melihat tak ada masa depan dan juga kesuksesan…” (www.detik.com.)
Bunuh
diri adalah masalah serius yang kerap terjadi di kalangan remaja dan mahasiswa.
Fenomena ini merupakan penyebab kematian kedua terbanyak di kalangan remaja
berusia 15-24 tahun di banyak negara, termasuk Indonesia. Artikel ini bertujuan
untuk mengulas penyebab umum bunuh diri pada kelompok ini, serta faktor
psikologis yang dapat memicu tindakan tersebut, berdasarkan pendekatan
psikologis yang berbasis data.
Penyebab
Bunuh Diri pada Remaja dan Mahasiswa
Penyebab
bunuh diri pada remaja dan mahasiswa sangat tergantung pada identifikasi dini
dan intervensi yang tepat. Berdasarkan penelitian, faktor-faktor seperti
riwayat depresi, gangguan kecemasan, dan pengalaman trauma masa kecil memiliki
dampak signifikan pada kemungkinan seseorang melakukan bunuh diri.
Depresi: Remaja
yang mengalami depresi berat memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk
melakukan bunuh diri. Depresi yang tidak ditangani sering kali memperburuk
perasaan putus asa dan tidak berdaya, yang dapat memicu keinginan untuk
mengakhiri hidup.
Gangguan
Kecemasan: Selain depresi, gangguan kecemasan yang berlebihan juga
sering kali menjadi pendahulu dari tindakan bunuh diri. Ketidakmampuan untuk
mengatasi stres atau tekanan akademik dapat menyebabkan perasaan tidak ada
jalan keluar.
Pengalaman
Trauma: Remaja yang memiliki riwayat trauma, seperti pelecehan
seksual, kekerasan fisik, atau bullying, lebih rentan mengalami pikiran bunuh
diri. Trauma yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi gangguan stres
pasca-trauma (PTSD), yang juga dikaitkan dengan tingginya risiko bunuh diri.
Potensi
Psikologis yang Mendorong Bunuh Diri
Beberapa
faktor psikologis utama yang berpotensi mendorong tindakan bunuh diri pada
remaja dan mahasiswa antara lain:
Rasa
Putus Asa: Perasaan bahwa tidak ada jalan keluar dari masalah atau
bahwa hidup tidak akan membaik sering kali menjadi pendorong utama bagi
individu untuk mempertimbangkan bunuh diri. Penelitian menunjukkan bahwa rasa
putus asa adalah prediktor kuat dari perilaku bunuh diri, terutama pada remaja
yang menghadapi tekanan akademik atau sosial yang berat.
Isolasi
Sosial: Remaja yang merasa terisolasi secara sosial atau merasa
tidak memiliki dukungan emosional dari keluarga atau teman cenderung lebih
mungkin memikirkan bunuh diri. Kurangnya keterikatan sosial dapat memperburuk
perasaan kesepian dan putus asa.
Perfeksionisme:
Mahasiswa yang memiliki kecenderungan perfeksionis sering kali menempatkan diri
mereka di bawah tekanan yang luar biasa. Ketika mereka gagal memenuhi standar
yang mereka tetapkan sendiri, mereka mungkin merasa bahwa hidup tidak lagi
memiliki nilai. Perfeksionisme ini sering kali berhubungan dengan gangguan
kecemasan dan depresi, yang dapat memperparah risiko bunuh diri.
Dikotomi
Berpikir: atau dikenal berpikir hitam-puith, yaitu pola pikir ini
membuat individu melihat dunia dalam ekstrem, di mana mereka hanya melihat
solusi yang drastis untuk masalah mereka. Remaja dengan pola pikir ini
cenderung melihat bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar dari penderitaan
mereka.
Intervensi
Psikologis Bunuh Diri
Pendekatan
psikologis dalam mencegah bunuh diri pada remaja dan mahasiswa berfokus pada
identifikasi risiko, intervensi dini, dan perawatan yang berkelanjutan.
Beberapa pendekatan yang berbasis data adalah:
1.
Cognitive Behavior Therapy (CBT): Terapi
Kognitif-Perilaku telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala depresi dan
kecemasan yang dapat mengarah pada bunuh diri. Terapi ini membantu individu
mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif serta membangun mekanisme
coping yang lebih sehat.
2.
Screening dan Penilaian Risiko: Alat penilaian
risiko seperti PHQ-9 (Patient Health Questionnaire-9) atau skala Beck
Depression Inventory (BDI) digunakan untuk mengidentifikasi individu yang
berisiko tinggi. Data dari penilaian ini membantu para profesional dalam
membuat rencana intervensi yang sesuai.
3.
Dukungan Sosial dan Keterlibatan**: Data
menunjukkan bahwa keterlibatan sosial dan dukungan dari teman atau keluarga
dapat secara signifikan mengurangi risiko bunuh diri. Program-program yang
mempromosikan keterikatan sosial di kampus, seperti kelompok diskusi atau
kegiatan ekstrakurikuler, memainkan peran penting dalam pencegahan bunuh diri.
4.
Pendidikan dan Kesadaran: Edukasi tentang
kesehatan mental di kalangan remaja dan mahasiswa dapat membantu mereka
mengenali gejala awal dari kondisi yang dapat mengarah pada bunuh diri.
Kesadaran ini memungkinkan mereka untuk mencari bantuan sebelum situasi
memburuk.
Bunuh diri di kalangan remaja dan mahasiswa adalah masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis. Penting untuk memahami penyebab umum dan faktor risiko yang mendasarinya, serta menerapkan pendekatan psikologis berbasis data untuk mencegah terjadinya tindakan bunuh diri. Dengan intervensi yang tepat dan dukungan sosial yang memadai, risiko bunuh diri dapat diminimalkan, sehingga remaja dan mahasiswa dapat terus berkembang dalam lingkungan yang sehat dan mendukung.